Sariagri - Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Jumat (28/1) pagi menguat 17 poin atau 0,12 persen ke posisi Rp14.372 per dolar Amerika Serikat (AS) dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan sebelumnya Rp14.389 per dolar AS.
Pengamat pasar uang, Ariston Tjendra, mengatakan nilai tukar rupiah masih berpotensi melemah terhadap dan masih disebabkan oleh efek ekspektasi kebijakan pengetatan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) tahun ini.
"Selain itu, pertumbuhan data PDB AS kuartal IV menunjukkan hasil yang lebih bagus dari ekspektasi pasar yakni +6,9 persen vs +5,5 persen juga membantu penguatan dolar AS terhadap nilai tukar lainnya. Data ini menunjukkan bahwa ekonomi AS di tengah pandemi ini siap menerima kebijakan pengetatan moneter AS," kata Ariston.
Dari dalam negeri, kasus positif covid-19 yang kian meninggi setiap harinya masih menjadi kekhawatiran pelaku pasar dan memberikan tekanan rupiah.
Menurut Ariston, nilai tukar rupiah berpotensi melemah dalam rentang Rp14.400 hingga Rp14.420 dengan potensi support di kisaran Rp14.350 per dolar AS.
Sementara itu, dolar AS menuju minggu terbaiknya dalam tujuh bulan di perdagangan Asia, setelah menembus beberapa level penting terhadap euro karena para pedagang memperkirakan kenaikan suku bunga AS yang agresif dalam setahun.
Ketua Federal Reserve Jerome Powell melepaskan spekulasi pada lima atau lebih kenaikan tahun ini setelah ia membuka peluang pada Rabu (26/1/2022) untuk menaikkan suku bunga lebih cepat daripada siklus sebelumnya.
Data yang menunjukkan pertumbuhan tahunan AS terbaik dalam hampir empat dekade juga tidak merugikan.
Semalam euro turun hampir 0,9 persen ke level terendah 20 bulan di 1,1131 dolar, yen melemah 0,6 persen dan dolar Australia dan Selandia Baru turun lebih dari 1,0 persen.
Untuk minggu ini, dolar telah naik 1,7 persen terhadap euro, 2,0 persen atau lebih terhadap dolar Australia dan Selandia Baru serta indeks dolar AS telah melesat di atas 97 untuk pertama kalinya sejak Juli 2020. Terakhir berdiri di 97,250.
"Begitu banyak bagi semua analis yang terburu-buru untuk menyimpulkan bahwa reli dolar telah selesai, menyusul perbedaan awal tahun antara (kenaikan) suku bunga AS dan (penurunan) dolar," kata kepala strategi valas National Australia Bank, Ray Attrill.
Greenback juga melompat terhadap yuan pada Kamis (27/1/2022) - sesi terbaik dalam tujuh bulan - karena melemahnya pertumbuhan laba industri di China mendukung kasus pelonggaran moneter di sana.
Dana Federal berjangka telah bergeser memperkirakan sebanyak lima kenaikan AS tahun ini dengan beberapa analis memperkirakan enam kali kenaikan.
Pergerakan moderat di awal perdagangan Asia, meninggalkan yen di 115,40 per dolar dan Aussie bertahan di 0,7029 dolar AS. Dukungan Aussie berikutnya adalah terendah Desember di 0,6994 dolar AS
Dolar Selandia Baru tetap di bawah tekanan dan beringsut ke level terendah baru 15-bulan di 0,6570 dolar AS.
Sterling didorong ke level terendah satu bulan di 1,3360 dolar semalam dan melayang di 1,3385 dolar karena para pedagang mengalihkan fokus mereka ke pertemuan bank sentral Inggris minggu depan. Pasar telah memperkirakan peluang kenaikan 90 persen.
Baca Juga: Mayoritas Mata Uang di Asia Kalah Lawan Dolar, Rupiah Jadi Rp14.389 per Dolar AS
Nilai Tukar Rupiah pada Kamis Ini Diperkirakan Masih Melemah
Dolar Menguat Bakal Terus Berlanjut
Bank Sentral Eropa dan bank sentral Australia juga bertemu minggu depan dan beberapa analis melihat lonjakan dolar mulai kehilangan tenaga karena ekonomi dan bank sentral di seluruh dunia muncul dari pandemi selama tahun ini.
"Dolar berada pada siklus tertinggi dan akan terus berlanjut karena perbedaan suku bunga dan peningkatan volatilitas pasar memberikan dukungan. Tapi ini adalah tahap terakhir dari pergerakan tersebut," kata ahli strategi Societe Generale, Kit Juckes.
"Ketika ekonomi global bangkit dari yang terburuk dari pandemi COVID tahun ini, fokus pasar akan beralih ke normalisasi kebijakan moneter dan pertumbuhan di luar AS serta pengembalian mata uang terbaik di paruh kedua tahun ini kemungkinan akan datang dari luar mata uang utama ekonomi maju."
Video Terkait: